Pendidikan memiliki peran yang penting
terhadap kemajuan suatu bangsa. Hal tersebut bisa kita ambil pelajaran
dari Negara Jepang, ketika mereka sadar telah tertinggal jauh dari
bangsa eropa mereka segera mengubah strategi pendidikannya dengan
melaksanakan program pendidikan yang ketat, konsisten dan ditunjang
seluruh kekuatan sosial ekonomi yang ada demi mengejar ketertinggalannya
tersebut. Semua bidang yang ada mulai dari sistem tata Negara, militer,
industri dan pendidikan berkiblat pada bangsa eropa. Ada satu hal yang
dipertahankan dari bangsa Jepang yang masih tetap dilestarikan hingga
saat ini yaitu kesadaran bahwa mereka adalah bangsa Jepang memiliki
tradisi samurai yang sakral dan terpelihara lebih dari 1000 tahun
lamanya. Meski akhirnya Jepang kalah dari segi kekuatan militernya oleh
bangsa eropa, akan tetapi semangat yang tertanam oleh sistem pendidikan
yang ada membuat Jepang tetap tampil kuat di bidang ekonomi.
Karakter budaya suatu bangsa, termasuk
alam pikiran dan perilaku seseorang, dibentuk oleh kondisi alam tempat
hidupnya. Misalnya, karakter budaya orang pantai berbeda dengan orang
pegunungan, orang gurun pasir berbeda dengan orang lembah hijau, dan
orang bermusim salju berbeda pula dengan orang khatulistiwa serta
dibentuk oleh kondisi sejarahnya sendiri.
Secara politis, strategi pendidikan
Indonesia yang sesuai dengan tujuan kemerdekaan bangsa tidak pernah
dipikirkan apalagi ditetapkan. Program dan sistem pendidikan diserahkan
saja kepada birokrat bekas guru-guru sekolah rendah yang berdiploma,
karena mereka tidak memiliki wawasan, apalagi menghayati tujuan dari
kemerdekaan, mereka hanya “menjiplak” saja apa yang diperoleh dari
sekolahnya dulu,mulai dari sistem, program dan kurikulumnya.
Tingkat, jenis sekolah, program dan
kurikulum diseragamkan untuk seluruh wilayah Indonesia tanpa
mengindahkan kondisi dan situasi yang berbeda-beda di berbagai daerah
dengan dalih demi persatuan bangsa. Hal inilah yang mengakibtkan anak
petani atau nelayan di pedesaan terpencil mendapat program pendidikan
sama dengan anak kota besar yang makmur. Jika anak kota besar
dipersiapkan ke perguruan tinggi kemudian mereka belajar bahasa Inggris
sejak SLTP, maka anak petani atau nelayan pun juga wajib belajar bahasa
Inggris sejak SLTP pula. Tidak ada yang peduli, apakah bahasa itu akan
menjadi bahasa kedua atau tidak bermanfaat bagi kehidupan masa depan di
desanya. Pokoknya, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pendidikan di
seluruh Indonesia mesti diseragamkan.
Demokrasi pendidikan diartikan bahwa
semua orang berhak mendapat pendidikan yang sama dan setinggi-tingginya.
Oleh karena itu, setiap tingkat sekolah dijadikan jenjang pendidikan
untuk memasuki perguruan tinggi dengan muatan kurikulum yang disesuaikan
untuk ke sana, tanpa terfikirkan pula bahwa tidak semua anak mampu ke
perguruan tinggi, baik karena kemampuan otaknya maupun kemampuan biaya.
Anak bangsa yang mampu untuk melanjutkan ke perguruan tinggi hanya 15%,
sedangkan sebanyak 85% lainnya tercecer di SD, SLTP dan SLTA. Mereka
tak ubah hanya sebagai korban dari program demokrasi pendidikan yang
salah. Akibat dari sistem demokrasi pendidikan yang “sama rata” itu.
Sekolah pun diperbanyak setiap tahunnya, sedangkan pemerintah tidak
punya dana yang cukup, sebenarnya ada tapi habis di setiap “pos”,
sehigga hasil dari pendidikan itu pun kian terpuruk.
Sesalah-salahnya strategi dan sistem
pendidikan pada zaman kolonial, mutu dan hasil pendidikannya masih lebih
bagus, baik di bidang ilmu maupun etika dan moralnya. Sejak sekolah
lanjutan sampai ke perguruan tinggi pengelolaannya melalui prosedur yang
terseleksi dengan ketat, tidak memassal. Kebijaksanaan yang dipakai di
Indonesia sekarang ini ialah dengan membuka sekolah sebanyak-banyaknya,
dan hasil yang bersifat massal, meskipun sudah diketahui mutunya akan
terus merosot. Pada ujungnya, tamatan pendidikan dari jenjang sekolah
manapun akan menjadi penganggur juga.
Kebijaksanaan politik dalam pengelolaan
perguruan tinggi pun kini lebih memilih memperbanyak fakultas atau
jurusan, dari pada meningkatkan kualitas, tampaknya dikarenakan banyak
peminat. Masa waktu pendidikan diperpendek dan lama masa mengikuti
kuliah dibatasi. Kebijaksanaan itu seperti seolah-olah untuk memaksa
agar mahasiswa belajar lebih rajin. Namun, malah yang terjadi bisa
sebaliknya. Mahasiswa mencari “jalan pintas” yang paling mudah untuk
mendapat gelar diploma. Karena pada umumnya setiap instansi pemerintah,
oleh alasan yang tidak etis, menerimaan tenaga kerja hanya melihat
diploma saja, tidak pada kualitas dan relevansi bidang studinya.
Sistem kepangkatan menurut diploma pada
pegawai negeri, juga menjadi salah satu pendorong utama bagi orang untuk
memasuki perguruan tinggi. Sebagian dari mereka memilih fakultas
favorit, namun lebih banyak memilih fakultas apa saja asal bisa masuk.
Ukuran favorit tidak terletak pada ilmu yang hendak diperoleh, melainkan
prospek yang menjamin dapat pekerjaan. Hasilnya sama saja antara
memilih fakultas favorit dengan memilih fakultas apa saja, jika dilihat
pada perilaku dari produk sistem pendidikan itu sendiri.
Pemerintah pada saat ini memang
mendirikan beraneka ragam sekolah kejuruan, akan tetapi sekolah kejuruan
tidak menarik. Sekolah kejuruan tidak menyertakan program pendidikan
kearah etos kerja. Sistem dan metode serta tujuannya sama dengan sekolah
umum. Tidak terfikirkan untuk melaksanakan konsep pendidikan kejuruan
yang relevan dengan program pembangunan dan membentuk manusia yang cinta
pada pekerjaan, ulet serta tekun.
Sekolah kejuruan di Jepang hadir dalam
posisi yang tidak kalah pentingnya dengan sekolah umum, dalam 1000
sekolah, terdapat 125 sekolah kejuruan yang menghasilkan tenaga terampil
untuk mengisi lowongan beragam industri. Pada materi kurikulum ilmu
bumi SD Jepang, telah dicantumkan nama negara yang menjadi pasar
industri Jepang. Sebaliknya, di Indonesia yang disuruh hafal ialah nama
gunung tertinggi, sungai terpanjang atau laut terdalam. Sejak dari
pendidikan di tingkat sekolah menengah di Jepang, para murid telah
dituntun untuk berpikir realistis ke arah mana mereka akan melanjutkan
pendidikan.
Penyeragaman jenis, tingkat dan materi
kurikulum untuk seluruh sekolah di mana pun lokasinya, berakibat pada
penyeragaman kualitas dan wawasan manusia. Akibat lanjutannya ialah
memusnahkan keragaman manusia itu sendiri. Hal itu bertentangan dengan
kodrat alam sebagai ciptaan Tuhan. program pendidikan tidak memberikan
pengertian serius kepada murid sejak dini. Karena kebijaksanaan program
pendidikan di Indonesia bertujuan agar setiap murid mampu melanjutkan
pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, maka bobot kurikulum menjadi
berat ke bidang akademik.
Para pakar dan para birokrat pendidikan
memandang bahwa menjabat jabatan tinggi di kantor-kantor merupakan
status yang paling ideal dan terhormat. Hal tersebutlah yang membuat
mereka bersikukuh mempertahankan sistem dan program pendidikan yang
sudah ada. Meski mereka pun mengetahui bahwa dalam kenyataannya hal itu
adalah keliru.
Merombak pandangan lama dengan pandangan
baru secara total, membutuhkan keberanian politik dan sosio-psikologis.
Dengan melakukan perombakan total itu, secara sendirinya akan
menurunkan letak posisi pegawai atau pejabat tinggi. Kemungkinan faktor
inilah yang menghambat pemikiran para perencana pembangunan bidang
pendidikan selama ini.
Kebijaksanaan program pendidikan di
Indonesia dinilai tidak proporsional dan juga kontroversial. Sejak dari
tingkat SD, murid disiapkan agar mampu menaiki jenjang pendidikan yang
paling tinggi. Konsekuensinya, perguruan tinggi dibangun sebanyak –
banyaknya dan jurusan bidang studi diperluas pula agar dapat menampung
sebanyak – banyaknya mahasiswa. Tampaknya, seperti tidak terpikirkan
berapa banyak kebutuhan riil dari pengguna jasa pada produk perguruan
itu.
Manusia yang sepintar apapun otaknya,
tidak akan berarti apa-apa dalam berhadapan dengan bangsa yang selain
pintar juga memiliki kemauan bekerja keras dan etos kerja yang tinggi
seperti Jepang atau bangsa-bangsa Barat lainnya. Kerusakan dan kekacauan
politik dan ekonomi, yang berakibat pada kerusakan moral bangsa
indonesia, tidak akan dapat diperbaiki dengan sistem dan program
pendidikan yang memacu ilmu pengetahuan dan kesadaran bangsa secara
verbal atau menyontek pendidikan bangsa lain yang berbeda kondisi alam
dan tradisinya.
Pendidikan mental pada murid tidak
mungkin dibebankan kepada orang tuanya karena tiga hal. Pertama, kedua
orang tua mereka telah terlalu sibuk untuk mencari nafkah hidup yang
kian tinggi tuntutannya. Kedua, mereka adalah produk pendidikan masa
lalu yang bermental santai dan bermoral yang lepas nilai. Ketiga, tidak
memahami pentingnya arah pendidikan bagi generasi baru.
Strategi dan program pendidikan di
Indonesia perlu diiringi dengan sistem dan metode yang cocok, yaitu
mampu membangkitkan vitalitas murni sebagai manusia merdeka, mandiri,
berprestasi, aktif dan kreatif serta produktif. Tuntutan kepemilikan
ilmu pengetahuan teknologi menuntut mental yang berbeda jauh dengan
karakter bangsa yang berkebudayaan santai. Karena ilmu pengetahuan dan
teknologi membutuhkan mental disiplin sendiri, yang berakar pada etos
kerja. Oleh karena itu, strategi dan program pendidikan sejak awal bagi
bangsa Indonesia semestinya lebih mengutamakan mengubah mental santai
itu. Agar setiap murid mampu memilih arah hidupnya sendiri atau tidak
akan merasa kebingungan ketika memasuki masyarakat, setelah mereka
menyelesaikan setiap jenjang pendidikannya.
Strategi pendidikan suatu bangsa
semestinya ditentukan oleh konsep ideologi bangsa, bukan oleh konsep
politik suatu pemerintahan. Konsep politik pemerintah lazimnya terpakai
pada suatu negara yang menganut sistem diktator. Arah pendidikan suatu
bangsa bukan untuk mengokohkan posisi golongan yang sedang berkuasa.
Sementara itu, konsep suatu bangsa atau negara harus diatur berdasarkan
pertimbangan kondisi alam tempat bangsa itu hidup, dan ke arah mana
bangsa itu akan di didik agar mampu hadir di tengah masyarakat dunia
yang maju di zaman sekarang ini dan masa yang akan datang.
Hal ini dapat dituangkan dalam kiasan “Dari pohon apel jangan diminta buah jambu. Tetapi jadikan setiap pohon menghasilkan buah yang manis.”
Maksudnya, agar pendidikan tidak membentuk murid menjadi manusia yang
bercita-cita dan berpikir seragam, tetapi menjadikan mereka manusia yang
berkualitas yang menurut kodratnya. Pendidikan jangan sampai berfungsi
untuk menentukan pilihan hidup murid. Fungsi pendidikan ialah
membangkitkan minat murid agar berkemauan keras untuk memilih sendiri
jalan hidupnya.
Perlu juga dilaksanakan kebijaksanaan
untuk mengurangi jurusan bidang studi yang tidak relevan dan fungsional
supaya tidak terjadi pemborosan dana yang terus menerus. Dana yang
dihemat itu dapat digunakan untuk meningkatkan mutu sarana perguruan
tinggi yang banyak jumlahnya seperti dewasa ini tidak menunjukkan
tingginya tingkat kecerdasan dan ilmu pengetahuan serta kebudayaan
bangsa Indonesia, yang selalu dinilai ialah mutu dari hasil produknya.
*mahasiswa universitas muhammadiyah malang fakltas psikologi 2009 dan kadep sospol KAMMI UMM raya – guna prasyarat PPB#6 UGM
–
Referensi :
A.A navis1996. Filsafat dan strategi M.sjafei. PT grasindo : jakarta
Mustafa, khalid 2008. Strategi pendidikan nasional http : khalidmustafa.wordpress.com